Jumat, 05 Desember 2014

KUCICA EKOR KUNING: BURUNG IDENTITAS DAERAH ACEH

BURUNG IDENTITAS
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BURUNG KUCICA EKOR KUNING
(Trichixos pyrropygus)

BURUNG KUCICA EKOR KUNING JANTAN

BURUNG KUCICA EKOR KUNING BETINA
Klasifikasi Ilmiah:

Kerajaan           :  Animalia
Filum                 :  Chordata
Kelas                :  Aves
Ordo                 :  Passeriformes
Famili               :  Muscicapidae
Genus              :  Trichixos
Spesies           :  T. Pyrropygus

          Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menetapkan burung kucica ekor kuning (trichixos pyrropygus) atau dalam bahasa lokal dikenal dengan nama burung cempala kuneng sebagai fauna identitas (maskot) provinsi tersebut. burung cempala kuneng merupakan nama lokal di Aceh, sedangkan para ornitholog Indonesia secara resmi memberi nama burung kucica ekor kuning atau rufous-tailed shama (trichixos pyrropygus).

          Pada awalnya, burung kucica ekor kuning sempat dimasukkan ke dalam genus copsychus, dengan nama spesies copsychus pyrropygus, karena dianggap masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan burung murai batu (copychus malabaricus). Secara fisik penampilan burung ini memang mirip dengan murai batu. Perbedaan yang sangat mencolok terletak pada bulu ekornya yang berwarna kuning, sehingga burung ini dinamakan kucica ekor kuning. Sementara di mancanegara, burung ini selain memiliki nama resmi rufous tailed-shama, ada juga yang menyebutnya sebagai orange-tailed shama. Sedangkan di Malaysia para kicaumania menyebutnya sebagai burung murai ekor jingga.
         
          Sebenarnya burung kucica ekor kuning bukanlah burung endemik di daerah Aceh. Burung yang tidak memiliki subspesies/ras ini mempunyai wilayah persebaran alami yang sangat luas mulai dari Thailand, Semenanjung Malaysia, Brunei Darrussalam dan Indonesia. Di Indonesia penyebaran burung ini hanya ditemukan di daerah Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan latar belakang sejarah masa lampau, masyarakat Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) sudah menggemari burung ini. Bahkan burung cempala kuneng sering disebut-sebut dalam hikayat rakyat Aceh, sehingga patut diapresiasi ketika pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadikan burung cempala kuneng atau kucica ekor kuning sebagai fauna identitas daerah tersebut.

          Secara fisik burung cempala kuning memiliki postur tubuh seukuran murai batu, dengan panjang tubuh sekitar 21 cm. Bentuk tubuhnya juga mirip murai batu, hanya memiliki perbedaan pada warna, motif, dan panjang ekornya saja. Burung jantan memiliki perbedaan warna dari burung betina. Pada burung jantan dewasa, tubuh bagian atas berwarna hitam. Demikian pula pada bagian tenggorokan dan dada juga berwarna hitam, sedangkan pada bagian perut hingga daerah kloaka berwarna oranye. Di samping itu burung cempala kuneng jantan juga memiliki tanda yang cukup khas pada bagian alis yang berwarna putih. Pada burung cempala kuneng jantan memiliki ekor  yang cenderung berwarna oranye.

          Sementara itu, burung cempala kuneng betina memiliki ciri-ciri fisik pada tubuh bagian atas berwarna cokelat dan bagian perut berwarna cokelat muda. Berbeda dengan burung jantan, burung cempala kuneng betina tidak memiliki alis putih di atas matanya. Pada burung cempala kuneng betina memiliki ekor  yang berwarna kuning. Sedangkan burung cempala kuneng muda, baik jantan maupun betina, memilki warna tubuh lebih cokelat dengan bintik-bintik kuning atau merah karat.

          Kicauan burung cempala kuneng memiliki irama seri panjang terdiri dari siulan merdu, nada tunggal dan ganda, “pi-uuu”, meningkat dan menurun bergantian secara tidak tetap.

          Burung cempala kuneng tidak umum dijumpai di kerimbunan hutan primer dan sekunder dataran rendah sampai ketinggian 1200 mdpl. Burung ini lebih menyukai tempat hidup di hutan lembab rimbun termasuk hutan rawa. Di Aceh, burung cempala kuneng bisa dijumpai di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sayangnya, populasinya dari waktu ke waktu makin menipis, sehingga kini makin sulit ditemukan di habitat aslinya. IUCN Red List pun menetapkan burung ini pada statusnya sebagai near threatened (NT) atau hampir terancam. Semua ini akibat maraknya perburuan liar di masa lampau, juga perambahan hutan secara besar-besaran di Aceh belakangan ini. Itu sebabnya, Pemprov Nanggroe Aceh Darussalam mengeluarkan peraturan yang melarang melakukan penangkapan liar dan perdagangan burung cempala kuneng, termasuk membawanya keluar dari wilayah Aceh.

          Berdasarkan perjalanan sejarah masa lampau, burung cempala kuneng sudah menjadi kegemaran masyarakat Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Hal ini menunjukan bahwa burung ini memiliki suara kicauan yang merdu. Namun demikian sungguh sangat disayangkan, kita belum dapat menikmati kemerduan suara dari burung ini, berbeda dengan burung-burung kicau yang lain seperti burung murai batu Medan, cucak rowo maupun jalak Bali.

          Sampai kini belum ada informasi ataupun bukti yang menunjukan bahwa  burung ini memiliki suara kicauan yang merdu dan mungkin mampu menirukan suara burung lain, ataupun bisa berkicau dengan lagu yang bervariasi seperti murai batu. Namun demikian, melihat dari jenis burung dan karakter suaranya yang mirip dengan burung murai batu Medan, kemungkinan besar burung cempala kuneng juga memiliki suara kicauan yang merdu dan dapat menirukan  suara burung lainnya dengan sangat baik.

            Kita semua berharap, semoga burung cempala kuneng atau kucica ekor kuning bisa terus berkembang biak di habitat alamnya dan lambat laun bisa juga dibudidayakan seperti burung-burung kicau yang lain dengan baik sehingga terhindar dari kepunahan. Dengan demikian, pada masa-masa datang kita masih bisa menikmati merdunya suara kicauan burung cempala kuneng seperti pada masa jayanya dulu di zaman kesultanan masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Semoga.




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar