BURUNG IDENTITAS
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
BURUNG KUCICA EKOR KUNING
(Trichixos
pyrropygus)
BURUNG KUCICA EKOR KUNING JANTAN |
BURUNG KUCICA EKOR KUNING BETINA |
Klasifikasi
Ilmiah:
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
Famili : Muscicapidae
Genus : Trichixos
Spesies : T. Pyrropygus
Pemerintah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menetapkan burung kucica ekor kuning (trichixos pyrropygus) atau dalam
bahasa lokal dikenal dengan nama burung cempala kuneng sebagai fauna
identitas (maskot) provinsi tersebut. burung cempala kuneng merupakan nama
lokal di Aceh, sedangkan para ornitholog Indonesia secara resmi memberi nama burung
kucica ekor kuning atau rufous-tailed shama (trichixos
pyrropygus).
Pada
awalnya, burung kucica ekor kuning sempat dimasukkan ke dalam genus copsychus, dengan nama spesies copsychus pyrropygus, karena
dianggap masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan burung murai batu (copychus
malabaricus). Secara fisik penampilan burung ini memang mirip dengan murai
batu. Perbedaan yang sangat mencolok terletak pada bulu ekornya yang berwarna kuning, sehingga burung ini
dinamakan kucica ekor kuning. Sementara di mancanegara, burung ini selain
memiliki nama resmi rufous tailed-shama,
ada juga yang menyebutnya sebagai orange-tailed
shama. Sedangkan di Malaysia para kicaumania menyebutnya sebagai burung murai
ekor jingga.
Sebenarnya
burung kucica ekor kuning bukanlah burung endemik di daerah Aceh. Burung yang
tidak memiliki subspesies/ras ini mempunyai wilayah persebaran alami yang
sangat luas mulai dari Thailand, Semenanjung Malaysia, Brunei Darrussalam dan
Indonesia. Di Indonesia penyebaran burung ini hanya ditemukan di daerah Sumatera
dan Kalimantan. Berdasarkan latar belakang sejarah masa lampau, masyarakat Aceh
sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) sudah menggemari
burung ini. Bahkan burung cempala kuneng sering disebut-sebut dalam hikayat
rakyat Aceh, sehingga patut diapresiasi ketika pemerintah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam menjadikan burung cempala kuneng atau kucica ekor kuning sebagai
fauna identitas daerah tersebut.
Secara
fisik burung cempala kuning memiliki postur tubuh seukuran murai batu, dengan
panjang tubuh sekitar 21 cm. Bentuk tubuhnya juga mirip murai batu, hanya memiliki
perbedaan pada warna, motif, dan panjang ekornya saja. Burung jantan memiliki
perbedaan warna dari burung betina. Pada burung jantan dewasa, tubuh bagian
atas berwarna hitam. Demikian pula pada bagian tenggorokan dan dada juga berwarna
hitam, sedangkan pada bagian perut hingga daerah kloaka berwarna oranye. Di
samping itu burung cempala kuneng jantan juga memiliki tanda yang cukup khas
pada bagian alis yang berwarna putih. Pada burung cempala kuneng jantan
memiliki ekor yang cenderung berwarna
oranye.
Sementara
itu, burung cempala kuneng betina memiliki ciri-ciri fisik pada tubuh bagian
atas berwarna cokelat dan bagian perut berwarna cokelat muda. Berbeda dengan
burung jantan, burung cempala kuneng betina tidak memiliki alis putih di atas
matanya. Pada burung cempala kuneng betina memiliki ekor yang berwarna kuning. Sedangkan burung cempala
kuneng muda, baik jantan maupun betina, memilki warna tubuh lebih cokelat
dengan bintik-bintik kuning atau merah karat.
Kicauan burung cempala kuneng memiliki
irama seri panjang terdiri dari siulan merdu, nada tunggal dan ganda, “pi-uuu”,
meningkat dan menurun bergantian secara tidak tetap.
Burung
cempala kuneng tidak umum dijumpai di kerimbunan hutan primer
dan sekunder dataran rendah sampai ketinggian 1200 mdpl. Burung ini lebih
menyukai tempat hidup di hutan lembab rimbun termasuk hutan rawa. Di Aceh, burung cempala kuneng bisa
dijumpai di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sayangnya, populasinya
dari waktu ke waktu makin menipis, sehingga kini makin sulit ditemukan di
habitat aslinya. IUCN Red List pun
menetapkan burung ini pada statusnya sebagai near threatened (NT) atau
hampir terancam. Semua ini akibat maraknya perburuan liar di masa lampau, juga
perambahan hutan secara besar-besaran di Aceh belakangan ini. Itu sebabnya,
Pemprov Nanggroe Aceh Darussalam mengeluarkan peraturan yang melarang melakukan
penangkapan liar dan perdagangan burung cempala kuneng, termasuk membawanya
keluar dari wilayah Aceh.
Berdasarkan
perjalanan sejarah masa lampau, burung cempala kuneng sudah menjadi kegemaran
masyarakat Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Hal ini
menunjukan bahwa burung ini memiliki suara kicauan yang merdu. Namun demikian
sungguh sangat disayangkan, kita belum dapat menikmati kemerduan suara dari
burung ini, berbeda dengan burung-burung kicau yang lain seperti burung murai
batu Medan, cucak rowo maupun jalak Bali.
Sampai
kini belum ada informasi ataupun bukti yang menunjukan bahwa burung ini memiliki suara kicauan yang merdu
dan mungkin mampu menirukan suara burung lain, ataupun bisa berkicau dengan
lagu yang bervariasi seperti murai batu. Namun demikian, melihat dari jenis
burung dan karakter suaranya yang mirip dengan burung murai batu Medan,
kemungkinan besar burung cempala kuneng juga memiliki suara kicauan yang merdu
dan dapat menirukan suara burung lainnya dengan sangat baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar